New drama!! Lho tapi mana episode 1 nya? hehe^^
Bagi yang sering mengunjungi Dramabeans pasti tahu kalau javabean tidak membuat sinopsis sendirian tapi bergantian dengan girlfriday. Jadi aku dan dee kutudrama memutuskan untuk membuat sinopsis drama ini bergantian, namun berbeda dengan Dramabeans, kami tetap melakukannya dari blog kami masing-masing dengan menyertakan link episode sebelumnya. Dengan demikian kami harap drama ini terus fresh from the oven hehe^^
Gaya penulisan kami berbeda jadi kuharap hal ini juga membawa keunikan tersendiri saat membaca. It’s really fun... I hope you can enjoy it^^
Sinopsis episode 2
Ji-heon tiba di kantor. Eun-seol cepat-cepat berdiri memberi salam dan memberitahu bahwa dia adalah sekretaris baru Ji-heon. Ji-heon menghampirinya dan memperhatikan Eun-seol lekat-lekat. O-ow, apa dia mengenali Eun-seol?
“Wajahmu membuatku dalam mood jelek,” ujarnya cuek.
Ia meminta resume Eun-seol dan tersenyum sinis setelah membacanya. “Parasit,” gumamnya (artinya pegawai buangan/sisa). Eun-seol tak sempat protes karena tepat saat itu, Moo-won masuk.
“Kau sudah bertemu sekretaris barumu?” tanyanya santai.
Ji-heon bertanya mengapa seorang yang tidak berkualifikasi dapat menjadi sekretarisnya. Dia adalah pemegang berbagai posisi manager di Grup DN. Jika bukan parasit, pasti sekretaris itu dikirim Moo-won untuk memata-matainya. Dia akan memilih sekretarisnya sendiri mulai sekarang.
“Untuk apa aku memata-mataimu? Untuk mencari tahu di mana kau bermain? Apa yang kau makan?” sahut Moo-won.
Ji-heon berkata ia sengaja melakukan itu seharian agar Moo-won tidak bisa memata-matainya. “Kalau begitu biarkan saja sekretaris mata-mata itu dan kau bisa membuang waktu seharian. Tidak ada salahnya bukan?” sahut Moo-won sinis. Keduanya saling bertatapan siap tempur.
Eun-seol memotong perdebatan mereka. Ia mencoba menjelaskan pada Ji-heon bahwa ia bukanlah parasit maupun mata-mata. Ia yakin Moo-won memilihnya karena minat dan tekadnya yang besar. Ia bersedia bekerja sekeras mungkin untuk Ji-heon dan menunjukkan pada Direktur Cha Moo-won yang memilihnya bahwa ia tidak salah pilih. Ji-heon tak peduli dan membentak Eun-seol agar menghilang dari hadapannya.
Malam itu, Myung-ran (sahabat Eun-seol) merayakan hari pertama Eun-seol bekerja. Eun-seol ingat ia pergi berdoa di berbagai tempat untuk meminta pekerjaan. Tapi pekerjaan pertamanya adalah pada lintah darat yang ternyata hidung belang. Saat ia pulang dari klub malam, ia melihat ke langit dan mengubah sedikit permintaannya. “Kumohon, berikan aku pekerjaan yang baik.”
Sekarang ia telah mendapat pekerjaan yang ia dambakan tapi ia berpikir seharusnya ia bukan saja memohon pekerjaan yang baik tapi juga boss yang baik. Ia memutuskan tidak akan menyerah dan membuat permintaan baru. Ia melihat ke langit dan mengucapkan permohonannya agar ia bisa bertahan dalam pekerjaannya dan tidak dipecat.
Ji-heon terkejut ketika keesokan harinya melihat Eun-seol masih masuk kerja. Sehari, dua hari, tiga hari, ia terus mengacuhkan Eun-seol bahkan menutupi wajahnya agar tidak melihat Eun-seol.
Akhirnya Eun-seol nekat menghampiri kantor Ji-heon. Saat ia ragu hendak masuk tiba-tiba pintu terbuka, menabrak Eun-seol hingga ia jatuh terjengkang. Ji-heon bertanya apa Eun-seol benar-benar mau mencoba menjadi sekretarisnya demi Cha Moo-won. Bukan begitu, Eun-seol mencoba menjelaskan.
“Sudahlah, mari kita coba,” ujar Ji-heon. Eun-seol membungkuk dua kali sambil berterima kasih saking senangnya. Ji-heon menyuruh Eun-seol membungkuk sekali lagi karena membungkuk 2 kali akan membawa nasib sial.
“Sekarang aku akan memberitahu aturannya, aku tidak suka mengulangi ucapanku dan tidak bisa menariknya kembali.”
-Telepon harus diangkat sebelum dering ke-2. Ia juga membenci telepon yang dialihkan.
- Ruangan kantornya harus diset dalam temperatur dan kelembaban tertentu
- Ruangan harus disegarkan dengan aroma segar tapi ringan tiap hari.
- Eun-seol harus membersihkan filter udara juga seluruh kantor sendirian. (eh…bukannya ada office boy ya?) - Tiap Ji-heon mengangkat tangan, Eun-seol harus menyemprotnya dengan sanitizer.
- Penyekat ruangan harus dibuka pada sudut masuknya cahaya matahari.
- Eun-seol harus menyaring telepon yang masuk dan hanya meneruskan telepon yang ia perbolehkan.
- Eun-seol harus langsung mengingat nomor telepon yang diminta Ji-heon.
- Waktu pulang dan pergi Eun-seol harus persis sama dengannya.
- Eun-seol harus berpakaian bersih dan rapi seperti dirinya. Ia tidak menyukai pakaian, wajah, dan rambut Eun-seol, terutama rambut cepolnya. Eun-seol buru-buru mengurai rambutnya.
- Kopinya adalah kopi rendah kafein, kopi panas harus panas dan kopi dingin esnya tidak boleh melerle (heh?).
- Peraturan terakhir: boss-ayah-guru adalah satu, jadi Eun-seol harus menghormatinya seperti menghormati ayah dan guru.
What is this? Devil wears Hugo Boss ??? or T-shirt? Jelas sekali tujuan Ji-heon untuk “menyiksa” Eun-seol dan membuatnya angkat kaki dengan sukarela. Tapi Eun-seol dengan gembira mengucapkan kembali semua peraturan itu.
Ji-heon memperbolehkan Eun-seol pergi untuk menulis semua peraturan itu. Baru saja Eun-seol hendak menulis, Ji-heon meneleponnya dan bertanya apa Eun-seol sudah selesai menulis. Ia mau makan siang sekarang. Makan siang yang sangat rumit.
Tiap hari Eun-seol pontang panting membawa makanan yang diinginkan Ji-heon. Makanannya bukan satu macam tapi bagaikan persediaan makanan seminggu.
Sekali waktu Ji-heon mengambil makanannya. Sepiring burger lengkap dengan sayur rebus. Ji-heon tidak suka wortel dan bawang putih lalu menjentikkan wortel-wortel itu ke dahi Eun-seol. Eun-seol tak bisa marah dan menunduk. Duh, kalau kena mata kan bahaya ya..
Lain waktu, Ji-heon meminum kopinya dan menyemburkan kopi itu karena esnya sudah meleleh. Eun-seol diberi waktu 5 menit untuk membeli kopi baru. Kalo di TV kabel ada Hell’s Kitchen, ini namanya Hell’s Office...
Berikutnya Eun-seol memasukkan lebih banyak es. Ji-heon berdiri dan membentaknya menyuruh membeli kopi baru. Saking marahnya Eun-seol menyuruh Ji-heon membeli kopinya sendiri dan meninju wajah Ji-heon hingga KO.
Namun itu hanya khayalan Eun-seol. Ia mengangguk dan berlari menuruti keinginan Ji-heon.
Ji-heon terkapar, bingung menghadapi kegigihan Eun-seol. Eun-seol pun terkapar kelelahan tiap kali pulang kantor.
Myung-ran menepuk paha Eun-seol. Eun-seol terbangun dan langsung mengucapkan serentetan nomor telepon yang sedang ia hafalkan.
Mereka pergi sauna dan Eun-seol berkata suatu hari nanti ia akan membunuh Ji-heon. Myung-ran menawarkan diri untuk menghabisi Ji-heon. Suatu hari nanti pasti kita habisi dia, sahut Eun-seol. Ia bingung mengapa Ji-heon tidak bekerja apapun tapi ahli menyiksa orang lain.
“Apanya yang harus mengangkat telepon? Jangan pergi ke toilet hingga bokongmu terasa panas? Tidak ada telepon sama sekali untuknya, sedangkan telepon Direktur Cha Moo-won terus berdering. dia benar-benar terisolasi. Julukannya adalah X-Man dari Grup DN. caranya menyiksa orang lain benar-benar kekanak-kanakkan. sepertinya otaknya tidak berfungsi. Aku tak percaya ada orang sebrengsek dia,” Eun-seol mencurahkan seluruh kekesalannya.
Tiba-tiba ponsel Eun-seol yang diletakkan di pinggir kolam berdering. Eun-seol langsung mengambil ponselnya dan mengeluarkannya dari plastik, tapi ponsel itu terlepas dari tangannya karena licin, dan jatuh ke air dengan sukses. Eun-seol berteriak histeris.
Keesokan harinya Ji-heon memarahi Eun-seol karena tidak menjawab telepon. Bagaimana jika ada sesuatu yang penting di kantor? Ia melarang Eun-seol pergi sauna lagi.
“Tapi aku harus ke sana sebulan sekali,” protes Eun-seol.
“Sudah kubilang tidak boleh mendebatku. Sebenarnya apa ada yang bisa kaulakukan dengan benar?”
Eun-seol diam saja.
“Mengapa kau tak menjawab?” tanya Ji-heon.
“Kau suruh aku jangan berdebat denganmu,” sahut Eun-seol. Ia lalu mengingatkan Ji-heon harus menghadiri rapat.
Saat rapat, Ji-heon tidak memperhatikan presentasi baik dari Moo-won maupun dari direktur lainnya. Ia sibuk menulis ssuatu, sepertinya mengata-ngatai si kepala cepol. Mereka sedang mendiskusikan pegawai yang tidak puas dan kecewa dengan kinerja pemilik perusahaan. Semua melirik Ji-heon. Selain itu ada komplain mengenai waktu kerja. Datang terlambat dan pulang lebih awal. Presdir (ayah Ji-heon) menanyakan pendapat Ji-heon mengenai hal itu.
“Itu ide yang bagus,” jawab Ji-heon enteng. Kontan Presdir membentak Ji-heon. Ji-heon keluar dari ruang rapat diikuti Moo-won. Moo-won menyuruh Ji-heon mengecek situs yang dibuatnya. Intranet di gunakan untuk memudahkan hubungan komunikasi antar pegawai. Ji-heon tak peduli. Moo-woon menanyakan kabar Eun-seol.
“Mengutip perkataan master Slam Dunk: musuh menyelesaikan masalahnya sendiri,” sahut Ji-heon, artinya ia tidak suka Moo-woon ikut campur. Mereka kembali ke kantor masing-masing. Tapi baru beberapa langkah, Ji-heon berbalik dan memungut tissue di lantai lalu membuangnya ke tempat sampah. (If Dokko Jin is a control mind freak, Ji-heon is a cleanliness freak. Kim Joo-won di tengah-tengahnya, walau ia tak pernah berhasil mengontrol pikirannya hehe^^)
Eun-seol menggunakan waktu luangnya untuk makan. Ia meyakinkan dirinya bahwa ia mencintai pekerjaannya bahkan badge karyawannya. Dia mencintai semuanya di kantor ini. (Eh…termasuk Ji-heon?) Tiba-tiba telepon berdering. Presdir menyuruh Eun-seol datang ke kantornya.
Presdir sedang berbincang dengan Moo-won. Mereka membicarakan Ji-heon. Presdir khawatir Ji-heon tidak bisa diandalkan untuk mengambil alih perusahaan. Presdir berharap Ji-heon sekompeten Moo-won tapi Moo-won diutamakan untuk meneruskan perusahaan ibunya, bukan? Moo-won membenarkan, tapi ia terlihat tak nyaman dengan pernyataan itu. Itu adalah perusahaan yang ditinggalkan ayah Moo-won yang sudah meninggal, dan sudah kewajiban Moo-won untuk meneruskannya. Moo-won meninggalkan kantor Presdir dengan wajah suram. (Hmmm… karakter Mu-won ini masih tanda tanya besar buatku. Interesting^^)
Eun-seol duduk di kantor Presdir tanpa berani melihat wajah Presdir. Presdir menegurnya karena terlihat begitu gugup. Ia lalu memarahi dan membentak Eun-seol. Tugas Eun-seol sebagai sekretaris adalah memastikan bossnya (Ji-heon) muncul di kantor tepat waktu. Bagaimana bisa ia membiarkan Ji-heon tiap hari datang terlambat? Ia bertanya apa Eun-seol lalai dalam pekerjaannya. Eun-seol terpaksa membenarkan.
Presdir menyuruh Eun-seol pergi ke rumahnya besok pagi dan memastikan Ji-heon pergi ke kantor tepat waktu. Wah…bakal heboh nih^^
Ia juga menyuruh Eun-seol memastikan Ji-heon tidak meninggalkan kantor kecuali untuk urusan kantor. Jika Eun-seol gagal, ia akan melempar Eun-seol dan mejanya ke jalan. Eun-seol akan melakukannya, tapi bolehkah ia menggunakan kekuatan fisik untuk memaksa Ji-heon kerja? Presdir tertawa geli, silakan saja, memangnya seorang gadis bisa sekuat apa?
Eun-seol meminta waktu sebulan untuk menyukseskan tugasnya. Hal itu bukanlah sesuatu yang bisa ia selesaikan dalam satu hari. Jika Presdir memintanya sukses dalam satu hari, lebih baik pecat dia sekarang juga. Presdir nampak terkesan dengan keterusterangan dan keberanian Eun-seol. Ia sudah berpengalaman dan bisa melihat Eun-seol pasti anak yang nakal waktu sekolah dulu.
“Setiap orang punya periode masa lalu kelam yang ingin mereka sembunyikan,” jawab Eun-seol.
Presdir tertawa dan berkata ia bisa merasakan kecocokkan antara dirinya dengan Eun-seol.
Keeseokan paginya, Eun-seol pergi ke rumah keluarga Cha. Dia menyapa beberapa orang yang sedang bekerja di kebun. Salah satunya adalah nenek Ji-heon. Eun-seol tidak mengenalinya dan mengira nenek adalah salah satu tukang kebun di rumah keluarga Cha.
Eun-seol menanyakan di mana kamar Ji-heon. Nenek menyuruh Eun-seol mengikutinya. Melihat rumah yang begitu besar, Eun-seol jadi bertanya-tanya bagaimana rasanya tinggal di sana. Tapi ia tidak iri, menurutnya hidup dalam kemewahan membuat orang menjadi lemah karena tidak ada tantangan, semuanya sudah tersedia dengan mudah. Nenek menyetujui pendapat Eun-seol tapi mengapa mencari Ji-heon.
Eun-seol berkata ia datang ke sini untuk memastikan Ji-heon berangkat tepat waktu. Nenek ragu Eun-seol bisa melakukannya. Eun-seol menepuk dadanya, ia berbeda dari orang lain, ia memiliki kegigihan. Eun-seol berkata bekerja dapat membuat nenek terus sehat. Ia juga meminta nenek mengabaikan Ji-heon jika Ji-heon membuatnya susah.
“Hwaiting!” katanya memberi semangat. Nenek tersenyum. Eun-seol pergi menuju kamar Ji-heon. Nenek tersenyum geli, gadis ini benar-benar tidak punya rasa takut.
Eun-seol mengetuk pintu kamar dan mengendap masuk karena tidak ada jawaban. Ji-heon masih tidur. Eun-seol mencoba membangunkan Ji-heon dengan berbisik memanggil namanya. Lalu ia mulai mengguncang tubuh Ji-heon dengan jarinya.
Bukannya bangun, Ji-heon malah berbalik. Eun-seol langsung menutupi wajahnya karena terkejut. Ada apa gerangan?
Ji-heon memakai celana. Tapi celana bergambar kartun seperti celana anak-anak. Ji-heon terbangun dan terkejut melihat Eun-seol di kamarnya. Lebih terkejut lagi saat tahu Eun-seol melihat celananya. Ia langsung kabur ke kamar mandi.
Eun-seol melihat-lihat kamar Ji-heon dan melihat sebuah papan berbentuk wanita dengan tanda tanya di wajahnya. Melihat rambut cepolnya kita sudah tahu itu siapa bukan? Tapi Eun-seol tidak tahu, sampai ia melihat sepatu di atas meja. Ia berpikir sepatu itu seperti miliknya.
Ia mengenakan sepatu itu. Dan pas di kakinya. Eun-seol mulai menyatukan semua petunjuk dan menyadari bahwa Ji-heon adalah pria di klub malam itu. Dia juga menyadari dirinyalah penyebab insiden yang melibatkan Presdir dan Ji-heon. O-ow…
Eun-seol terduduk lemas di lantai. Ia membuka sepatu itu dan melemparnya, tepat saat Ji-heon berjalan ke arahnya. Ji-heon bertanya apa sepatu itu pas di kaki Eun-seol.
Eun-seol cepat-cepat menjawab tidak, tidak muat, kakinya terlalu besar. Eun-seol merenggangkan jari-jari kakinya selebar mungkin dan menunjukkannya pada Ji-heon. Hihi…bener-bener kebalikan dari Cinderella.
Ji-heon berkata sepatu itu bukti penting jadi Eun-seol dilarang menyentuhnya. Ia berharap bisa mengingat wanita di klub itu tapi yang ia ingat hanyalah kepala cepolnya. Eun-seol menghembus lega. Ji-heon mengambil panah dan melemparnya ke papan itu.
Ji-heon bersumpah akan membuat wanita itu membayar kerusakan pikiran dan tubuhnya, menyebabkan reputasinya rusak, membuat saham anjlok, dan membuat ayahnya marah padanya. Ia akan membalas sepuluh kali lipat pada wanita itu.
Tiap kali panah mengenai papan itu, Eun-seol memegangi bagian tubuhnya yang “terkena” dan meringis kesakitan seakan panah itu benar-benar tertusuk ke tubuhnya.
Eun-seol mencoba menenangkan Ji-heon, jika wanita itu tahu kerusakan yang telah ditimbulkannya mungkin wanita itu merasa bersalah. Apa Ji-heon bisa memaafkannya sedikit. Ji-heon mendelik. “Atau tidak! Kau bisa menemukannya dan menghukumnya,” ujar Eun-seol cepat.
Ji-heon pikir Eun-seol mungkin bisa menemukan wanita itu. Ia melempar sepatu itu pada Eun-seol dan menjadikan itu tugasnya untuk menemukan si kepala cepol. Jika Eun-seol berhasil, ia akan langsung menjadi karyawan tetap. Eun-seol terpaku, ia harus menemukan dirinya sendiri? Tugas yang mudah namun sulit hehe^^
Mereka tiba di kantor. Ji-heon bertanya apa Eun-seol senang ditawari menjadi pegawai tetap. Eun-seol menjawab dengan tidak antusias bahwa ia sangat antusias. Ji-heon mengingatkannya agar tidak ke rumahnya lagi tapi Eun-seol menjelaskan Predir yang menyuruhnya. Ia berjanji akan lebih hati-hati dan tidak akan melihat celananya lagi. Ji-heon cepat-cepat menutup mulut Eun-seol. Tepat saat itu Presdir datang.
Mereka masuk ke lift. Sesi pendisiplinan pun dimulai. Presdir memarahi Ji-heon yang datang terlambat. Ji-heon bergumam ayahnya juga datang pada jam yang sama. Predir membentak Ji-heon, sepanjang pagi ia harus melakukan pekerjaan sosial, dan itu semua salah siapa? Eun-seol menunjuk dirinya (tapi ngga ada yang liat^^).
Predir mulai memukuli Ji-heon. Sekretaris Presdir membungkuk di lantai dan memberi isyarat agar Eun-seol menutupi kamera CCTV. Eun-seol naik ke punggung sekretaris Presdir dan menutupi kamera dengan tasnya.
Sementara itu Presdir dan Ji-heon terus bertengkar. Ji-heon mengancam akan meninggalkan rumah jika ayahnya terus seperti itu. Ia tidak bisa menerima ayahnya menyuruh Eun-seol pergi ke rumahnya untuk membuatnya bekerja.
Presdir bertambah marah dan terus memukuli Ji-heon. Eun-seol tak tahan lagi dan melerai mereka. Ia berdiri di depan Ji-heon. Presdir menyuruh Eun-seol minggir tapi Eun-seol menjawab tugasnya adalah melindungi bosnya. Presdir menyuruh Eun-seol minggir dengan menundukkan kepala Eun-seol.
Eun-seol menegakkan kepalanya, tepat saat Presdir mengayunkan tangannya untuk menampar Ji-heon. Plak! Eun-seol yang tertampar. Semua terpana.
Presdir menawarkan uang kompensasi untuk Eun-seol. Itu semua ketidaksengajaan. Daripada uang, Eun-seol meminta jaminan kekebalan jika suatu kali Presdir menemukan kesalahan dalam pekerjaannya. Bisakah kejadian kali ini menutupi kesalahannya? Presdir tertawa, ia menyukai kecerdikan Eun-seol.
Tapi Eun-seol tidak bisa mengalihkan pandangannya dari amplop di atas meja. Presdir bertanya apa Eun-seol menyesal telah menolak amplop itu. Eun-seol berkata jika Presdir memaksa memberikannya, ia tidak mau menolaknya.
Eun-seol melompat keluar dari kantor Presdir dengan amplop uang di tangannya. Eun-seol mengaku pada Ji-heon, ia selalu mengeluarkan uang karena memukul orang dan tidak pernah terjadi sebaliknya. Rasanya seperti memenangkan lotere. Ji-heon menyuruh Eun-seol mengobati wajahnya tapi Eun-seol berkata sedikit ludah sudah cukup.
Ji-heon duduk di kantornya dan mengingat bagaimana Eun-seol melindunginya. Tadinya ia ingin menelepon Eun-seol, tapi mengingat memar di pipi Eun-seol, ia memutuskan langsung menemuinya.
Begitu keluar kantor, ia melihat Eun-seol sedang dimarahi kedua sekretaris lain karena dianggap tidak membersihkan kantor. Eun-seol hanya menunduk dan menawarkan diri mencuci cangkir.
Ji-heon berpikir Eun-seol adalah sekretarisnya, bukan sekretaris dari para sekretaris. Jadi hanya dia yang boleh kejam pada Eun-seol. Apalagi kedua sekretaris itu juga sama sekali tidak menghormati Ji-heon. Mereka berjalan melewati Ji-heon tanpa memberi salam bahkan dengan melirik sebal. Well, I know he’s incompetent but he’s still you boss!
“No Eun-seol!! Kau tidak boleh meninggalkan mejamu kecuali untuk melakukan tugas yang kuberikan.”
“Aku hanya mencuci piring,” jawab Eun-seol.
“Memangnya aku minum kopi? Atau minum teh? Alasan macam apa itu? Lain kali jika kerjamu mencuci piring yang bukan kupakai, akan kupastikan pekerjaanmu hanya mencuci seharian!” ujar Ji-heon sambil memelototi kedua sekretaris yang tadi menegur Eun-seol.
Ia menyuruh Eun-seol masuk ke kantornya, bakteri sudah menyebar di kantor ini. Aku sudah membersihkan kantormu kemarin, sahut Eun-seol polos. Ji-heon melompat bolak balik di antara meja kedua sekretaris itu. “Kuman bisa datang kapan saja!”
Eun-seol membersihkan kantor Ji-heon. Ji-heon mencoba mengarahkan Eun-seol agar melihat kotak P3K di dalam lemari. Tapi Eun-seol tidak menyadari maksud Ji-heon dan terus membersihkan. Ji-heon akhirnya menunjuk salep di atas kotak P3K itu, dan memberitahu salep itu untuk memar.
Eun-seol baru menyadarinya dan bertanya apa Ji-heon mengkhawatirkannya. Ji-heon tidak menjawab dan berputar-putar di kursinya.
Eun-seol membubuhkan salep itu tapi tidak pas di memarnya. Ji-heon tak tahan lagi dan membantu Eun-seol. Ji-heon dan Eun-seol terkejut saat menyadari kedekatan wajah mereka berdua. Ji-heon membubuhkan salep itu jauh-jauh. Setelah selesai Eun-seol langsung menyemprotkan sanitizer ke tangan Ji-heon.
Mantan sekretaris Ji-heon menelepon, ia meminta surat rekomendasi dan ia juga sudah menemukan gadis kepala cepol. Ia mendapatkan resume kepala cepol dari kantor lintah darat itu.
“Kau sudah menemukannya?!” tanya Ji-heon keras-keras. Eun-seol mendengarnya dan mendekat. Ia ingin mengetahui apa yang dibicarakan Ji-heon. Sebenarnya tidak perlu, setelah selesai menelepon Ji-heon langsung memberitahu Eun-seol bahwa si kepala cepol telah ditemukan. Eun-seol bertepuk tangan memberi selamat dengan wajah hampir menangis.
Eun-seol memegangi perutnya dan meminta ijin ke toilet karena perutnya penuh dengan gas. Ji-heon menggerutu tapi memperbolehkannya pergi. Eun-seol langsung berlari menuruni tangga ke bawah, mencari mantan sekretaris Ji-heon.
Ia melihat mantan sekretaris itu sedang berbicara dengan resepsionis. Eun-seol menutupi wajahnya dengan scarf lalu merebut berkas yang dipegang mantan sekretaris Ji-heon.
Eun-seol lari sekencang-kencangnya ke luar gedung. Mantan sekretaris Ji-heon mengejarnya. Saat tidak ada yang melihat, Eun-seol menarik mantan sekretaris Ji-heon dan mengunci kepalanya. Ia mengancam agar sang mantan sekretaris berpura-pura tidak pernah melihat dan membaca berkas mengenai si kepala cepol. Eun-seol berjanji akan memberikan resume padanya tapi jika ia melanggar maka ia akan mendapat masalah.
“Tapi kenapa kau melakukan ini? Apa mungkin kau kepala cepol No Eun-seol?” tanya mantan sekretaris dengan suara tercekik.
“Bukankah sudah kubilang lupakan semuanya?!” Eun-seol mengencangkan pegangannya.
Eun-seol kembali ke kantor setelah berhasil “menyingkirkan” mantan sekretaris. Ia membujuk agar Ji-heon menginspeksi dept.store untuk memperlihatkan image yang baik. Ia dengar inspeksi itu akan diliput surat kabar perusahaan. Dia berjanji akan mendukung Ji-heon dan mulai sekarang akan tulus membantu Ji-heon. Apa selama ini kau tidak tulus, tanya Ji-heon. Ji-heon setuju melakukannya. Dalam hatinya Eun-seol bertekad melakukan semua ini sebagai hukuman atas perbuatannya pada Ji-heon.
Ji-heon berkeliling dept. store dan menyalami semua staf di sana. Tiap kali selesai bersalaman, ia diam-diam mengulurkan tangannya ke belakang dan Eun-seol sudah siap menyemprotnya dengan sanitizer.
Ji-heon mengeluh ia kelelahan dan meminta air minum. Eun-seol berlari membeli air minum dan meninggalkan Ji-heon sendirian. Ji-heon melihat sekelilingnya dan tidak menemukan Eun-seol. Ia melihat dari arah depan, banyak orang sedang berjalan menuju ke arahnya, anak-anak beserta orang tua mereka. Mendadak Ji-heon diserang panik dan mulai merasa pusing. Ia berusaha menarik nafas dan terus memanggil Eun-seol.
Ia tak tahan lagi dan berlutut di lantai. Eun-seol terkejut saat menemukan Ji-heon dalam keadaan linglung dan pucat. Ia berlutut di depan Ji-heon dan memeganginya. Ia hendak mencari pertolongan tapi Ji-heon menahannya. Ji-heon menaruh kepalanya di pundak Eun-seol. Eun-seol memeluknya dan menepuk punggung Ji-heon untuk menenangkannya.
Tak lama kemudian Ji-heon pulih dan baru menyadari kalau mereka sedang berpelukan. Cepat-cepat ia mendorong Eun-seol dan bangkit berdiri. Eun-seol jatuh. Ia merasa kesal hingga menolak uluran tangan Ji-heon. (dan lagi pasti udahnya harus disemprot sanitizer hehe^^)
Ji-heon meminta Eun-seol menempel padanya. Saat mereka tak sengaja bersentuhan, Ji-heon mendorong dan menyuruh Eun-seol menjaga jarak dengannya.
Kejadian itu tidak bisa lepas dari benak Ji-heon. Ia terus mengingat saat Eun-seol memeluknya dan menenangkannya. Ia berusaha melupakannya tapi ingatannya malah semakin kuat.
Eun-seol mencoba mencari informasi mengenai keadaan Ji-heon melalui internet. Ia ingin tahu apa yang menyebabkan Ji-heon panik di tempat umum.
Keesokan harinya saat Eun-seol menyiapkan kantor Ji-heon, ia menemukan beberapa botol obat di laci meja Ji-heon. Belum sempat ia melihat lebih teliti, Ji-heon sudah masuk. Ji-heon bertanya mengapa Eun-seol memberinya kupon makanan seharga 1 juta won padahal yang dimintanya adalah 1 juta won uang baru (dalam bahasa korea, keduanya terdengar mirip). Apa Eun-seol berniat membuat Ji-heon makan hingga meledak!
Eun-seol keluar dari kantor Ji-heon membawa kupon-kupon tersebut. Ia melihat Moo-won dan langsung tersenyum senang. Moo-won tersenyum pada Eun-seol. Mereka pergi ke luar dan minum kopi bersama.
Moo-won menanyakan kabar Eun-seol. Ia tahu insiden kupon makanan 1 juta won. Eun-seol menunduk malu. Moo-won tertawa dan menghibur Eun-seol, sekretarisnya juga kadang-kadang membuat kesalahan.
Eun-seol berterima kasih karena Moo-won selalu menyemangatinya. Moo-won balik berterima kasih karena Eun-seol bertahan lebih lama dari yang diperkirakan. Eun-seol bertanya pada Moo-won apakah Ji-heon sakit. Moo-won malah balik bertanya apa Ji-heon terlihat sakit? Awalnya Eun-seol hendak menceritakan kejadian di dept. store tapi ia tidak meneruskannya.
Moo-won kembali ke kantornya. Sekretarisnya melaporkan bahwa ia sudah menemukan laporan medis Ji-heon dan diagnosanya adalah Ji-heon menderita serangan panik dan gejalanya bisa bervariasi. Penyebabnya masih belum diketahui. Moo-won ingat ketika Ji-heon mendadak melarikan diri di tengah presentasi.
Pada rapat berikutnya, Moo-won mengusulkan Ji-heon yang berpidato pada ulang tahun perusahaan mereka. Ini kesempatan yang baik untuk mengubah reputasinya sebagai pewaris perusahaan. Ji-heon serta merta menolak dan meninggalkan ruang rapat. Moo-woon memperhatikan sikap Ji-heon.
Presdir mengikuti anaknya dan meminta Ji-heon melakukannya. Presdir berkata Ji-heon adalah satu-satunya yang tersisa baginya. Hanya Ji-heon yang bisa mewarisi perusahaannya sejak kematian kakak Ji-heon.
Presdir berkata ia tidak mengharapkan Ji-heon lebih baik dari yang lain. Ia hanya ingin Ji-heon sebaik orang lain. Tuntutan ayah terlalu tinggi, jawab Ji-heon. Jangan kecewakan ayahmu lagi, kata ayah Ji-heon sedih. Presdir meninggalkan kantor Ji-heon. Dari luar, Eun-seol melihat Ji-heon berdiri terpaku.
Ji-heon menyuruh supir menurunkan Eun-seol di dekat stasiun kereta. Dia memberitahu Eun-seol bahwa ia berencana tidak masuk kerja selama beberapa hari jadi Eun-seol juga boleh cuti. Di rumah, Ji-heon duduk melihat garis besar pidato ulang tahun perusahaan yang diserahkan Moo-won. Moo-won berkata ia dengan tulus berharap Ji-heon sukses.
Eun-seol tidak cuti. Ia bekerja bersama sekretaris lain untuk mengurus undangan acara ulang tahun itu. Tapi tiba-tiba ia berkata ia harus pergi ke rumah bosnya. Sekretaris lain langsung protes tapi sekretaris Moo-won mengijinkannya.
Eun-seol pergi ke rumah keluarga Cha. Ia membuka pintu kamar Ji-heon sedikit dan melihat Ji-heon sedang duduk di mejanya membaca pidato. Ji-heon merevisi pidato itu dan membacanya keras–keras. Eun-seol memutuskan membiarkan Ji-heon bekerja. Ia menunggu di depan pintu sambil mendengarkan. Lama-lama Eun-seol tertidur.
Ji-heon menyadari pintu kamarnya terbuka. Ia menyentakkan pintu itu dan Eun-seol jatuh terjerembab. Eun-seol berkata kemampuan pidato Ji-heon payah sekali. Sulit untuk membedakan Ji-heon sedang berpidato atau sedang marah-marah. Ia membantu Ji-heon latihan berpidato. Awalnya Ji-heon sangat kaku. Mereka berlatih berhari-hari dan akhirnya Ji-heon berhasil mengucapkan pidato dengan luwes dan lancar .
Tibalah hari H. Ibu Moo-won mempersiapkan acara ulang tahun tersebut. Ia berkata pada Moo-won, tentu saja ia harus mempersiapkan semuanya untuk si serigala licik (maksudnya ayah Ji-heon?). Eun-seol membantu Ji-heon bersiap dan berharap Ji-heon berhasil. seandainya tak berhasil pun tak masalah, inilah kehidupan. Ji-heon menggerutu Eun-seol bawel sekali.
Seluruh direksi dan pegawai perusahaan menghadiri acara tersebut. Termasuk nenek Ji-heon. Ji-heon naik ke atas panggung dan bersiap membacakan pidatonya. Tapi serangan panik itu datang ketika ia melihat banyak orang di depannya. Degup jantungnya semakin kencang, pandangannya mulai berkunang. Ji-heon menarik nafas. Ia mencoba memperkenalkan dirinya dan memulai pidatonya dengan terbata-bata.
Tiba-tiba ia melihat seorang wanita (Seo Na-yoon) memasuki ruangan. Ji-heon bagai melihat hantu. Tangannya mulai gemetar.
Ia tak tahan lagi dan berkata pidatonya akan diteruskan oleh sekretarisnya. Ruangan itu menjadi riuh. Ji-heon pergi dari ruang pertemuan. Ayah Ji-heon memejamkan matanya dengan sedih. Na-yoon melihat dengan khawatir. Eun-seol mau tidak mau mengambil alih pidato Ji-heon. Setelah selesai, ia berlari keluar mencari Ji-heon tapi tak menemukannya.
Nenek meminta Presdir menemui Ji-heon baik-baik. Mereka mendengar orang-orang membicarakan penampilan Ji-heon. Not in a good way. Insting ayah selalu ingin membela anaknya tapi nenek dan sekretaris menahan ayah Ji-heon untuk tidak marah pada orang-orang itu.
Eun-seol menemukan Ji-heon di kamarnya sedang bermain game. Ia berkata sayang sekali ia tidak bisa tinggal dan melihat Eun-seol mempermalukan diri sendiri di atas panggung. Eun-seol duduk dan menemaninya main game.
“Apa tidak ada yang mau kaukatakan? Bukankah kau datang untuk menghiburku?”
“Apa kau perlu dihibur?”
“Siapa bilang? Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menghiburmu. Jika hatimu terluka, kau boleh menangis. Mengatakan hal-hal aneh malah membuat mood jadi jelek, jadi keluarkan saja unek-unekmu.“
“Apa kau mau menangis? di depanku?” tanya Eun-seol.
Ji-heon bilang lupakan saja dan meneruskan bermain game. Eun-seol berkata Ji-heon boleh menangis jika mau, ia tidak bisa mendikte perasaan Ji-heon. Itu salah satu kebebasan. Jadi Ji-heon boleh melakukan apapun sesuka hati. Mau tak mau Ji-heon tersenyum.
Presdir masuk kamar Ji-heon dan mematikan video game dengan marah. Ia ingin tahu mengapa Ji-heon bersikap seperti tadi. Ia bersedia mendengar alasannya tapi alasan itu harus bisa diterima.
“Tidak ada alasan, aku hanya ingin melakukannya,” jawab Ji-heon.
PLAK! Presdir menampar Ji-heon. Ia meminta anaknya memberi alasan. Memohon atau memberi alasan, pokoknya katakan sesuatu. Ayahnya ingin tahu mengapa Ji-heon bersikap seperti itu.
Ji-heon berkata tidak ada yang ingin ia katakan. Presdir mengusir Ji-heon dan memintanya jangan kembali lagi. Ji-heon pergi dengan perasaan terluka dan marah.
Presdir juga sebenarnya menyesal telah menampar Ji-heon. Eun-seol memberanikan diri berkata pada Presdir bahwa pasti ada alasannya Ji-heon bersikap seperti itu. Walau Eun-seol belum mengerti semuanya, dan andai ia mengetahui alasannya sekalipun tanpa persetujuan Ji-heon ia tidak bisa mengatakannya. Pasti ada alasannya. Ia minta Presdir mengerti untuk sementara waktu.
Mu-won makan malam dengan Na-yoon. Mu-won berkata ia tahu mengapa Na-yoon kembali dan bekerja di perusahaan. Na-yoon tersenyum dan berkata kalau begitu mereka harus mulai mempersiapkan agar ia bisa kembali ke sisi Ji-heon.
Ji-heon berjalan diikuti Eun-seol yang berjarak beberapa langkah di belakang. Ji-heon mencoba mengusirnya tapi Eun-seol terus mengikutinya. Sampai suatu ketika Ji-heon berbalik dan tidak melihat Eun-seol. Giliran Ji-heon yang panik dan memanggil-manggil Eun-seol.
Eun-seol tiba-tiba muncul. kakinya sakit karena lelah berjalan. Ji-heon dengan kesal pergi meninggalkan Eun-seol. Tapi saat Eun-seol pamit pulang dan berjalan ke arah yang berlawanan, Ji-heon berlari menyusulnya.
Ji-heon tidak membawa apapun, baik ponsel maupun uang. Dia juga tidak bisa naik bis atau kereta. Eun-seol mengambil uang di bank dan terkejut melihat uangnya tinggal sedikit. Akhirnya mereka naik taksi.
Eun-seol mengusulkan pergi ke motel atau sauna tapi Ji-heon tidak mau karena banyak orang asing di sana. Eun-seol membawa Ji-heon ke apartemen Myung-ran. Ia dan Myung-ran akan menginap di sauna.
“Nn. No Eun-seol, aku sudah banyak merepotkanmu hari ini..,” Ji-heon tersenyum.
“Cuma sedikit terimaka...” Ji-heon tak melanjutkan ucapannya karena pandangannya tertuju pada sesuatu. Sepasang sepatu. Menyadari arah pandangan Ji-heon, Eun-seol “terbang” dan mendarat di depan sepatu itu untuk menutupinya. Terlambatkah?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar