Sinopsis Episode 4
Na-yoon dan Moo-woon berjalan-jalan di taman bermain sambil makan es krim. Mereka membicarakan pertunangan yang diatur oleh orangtua mereka. Moo-woon berkata ia ingin mempunyai pilihan, bukan sekedar memenuhi keinginan ibunya. Ia berhenti saat melihat Ji-heon yang sedang asyik memperhatikan sesuatu.
Na-yoon tak mempercayai apa yang dilihatnya. Ji-heon tersenyum melihat Eun-seol yang sedang menikmati permainan (Kora-kora^^). Moo-woon mencoba mengalihkan perhatian Na-yoon dengan membicarakan masalah mereka tapi kecemburuan Na-yoon tak terbendung. Ia pikir Eun-seol pasti bukan sekedar sekretaris. Moo-woon menasihati Na-yoon, akan sulit melawan Eun-seol.
Na-yoon menanyakan apa pekerjaan ayah Na-yoon tapi Moo-woon tidak tahu. Seperti para second lead lainnya, Na-yoon menganggap kekayaan dan statusnya lebih tinggi dari yang lainnya.
Na-yoon menghampiri Ji-heon dengan kesal. Eun-seol juga berlari menghampiri Ji-heon dan tak sengaja menabrak Na-yoon, tanpa menyadari telah menyebabkan es krim Na-yoon terantuk ke dadanya. Na-yoon tercengang melihat blusnya yang ternoda es krim.
Ditambah lagi melihat keakraban Ji-heon dan Eun-seol. Dengan penuh kemarahan, ia menghampiri mereka . Sleb! Es krim Nayoon, perkenalkan...bokong Eun-seul. Bukan hanya bokong Eun-seul, waktu pun serasa membeku.
Eun-seol menoleh kebingungan. Ji-heon terperangah. Bahkan Na-yoon sendiri terkejut menyadari apa yang baru saja ia lakukan.
“Maafkan aku, tanganku terpeleset,” ujar Na-yoon kembali ke sikap angkuhnya. Moo-woon mendekati mereka dan menanyakan keadaan Eun-seol.
“Aku akan membelikanmu yang baru,” kata Eun-seol sambil mengambil es krim yang dipegang Moo-woon. Bisa ditebak kan lanjutannya?
Sleb! Kali ini rok Na-yoon yang berlumuran es krim. Eun-seol menatap Na-yoon tanpa merasa gentar sedikitpun. Moo-woon tak bisa menahan tawanya.
“Ini...apa yang kaulakukan?!” tanya Na-yoon yak percaya.
“Maaf, aku sengaja. Karena kau sengaja melakukan hal yang sama,” jawab Eun-seol.
“Hei!” seru Na-yoon.
“Aku punya nama,” ujar Eun-seol.
Keduanya membersihkan diri di toilet. Na-yoon berkata Eun-seol yang telah menabraknya duluan dan menyebabkan noda di bajunya. Itu tidak disengaja, sahut Eun-seol, tapi Na-yoon melakukannya dengan sengaja.
Na-yoon meminta Eun-seol bersikap lebih hormat padanya karena ia memiliki hubungan dekat dengan boss. Eun-seol tidak membantah hal itu tapi tetap saja Na-yoon bukan bosnya.
Na-yoon meradang dan menyerang Eun-seol. Bukan, itu hanya khayalannya. Ia menenangkan dirinya dengan mengingat kekuatan dari pendidikan yang selama ini ia terima.
Serangan berlanjut ke latar belakang Eun-seol. Na-yoon menanyakan pekerjaan ayah Eun-seol. Dia mengolah tanah (petani), memiliki beberapa murid (guru silat), dan kadang-kadang berburu di gunung (mencari makan), jawab Eun-seol jujur.
Lucunya Na-yoon malah pikir ayah Eun-seol: mengolah tanah->membuat bangunan, memiliki beberapa murid->banyak tukang, berburu di gunung->mencari lokasi.
“Jadi dia dalam bisnis konstruksi? Apa bagusnya?” gumam Na-yoon. Hah? Eun-seol kebingungan.
Ji-heon dan Moo-woon menunggu para gadis. Ji-heon bertanya apa Na-yoon suka bertindak tak rasional seperti itu. Tidak, jawab Moo-woon, itu karena Eun-seol. Ji-heon mengangguk, “Ketika seseorang bertemu No Eun-seol, standar orang itu langsung jatuh.”
Na-yoon sepertinya cemburu pada Eun-seol, kata Moo-woon. Kenapa, tanya Ji-heon tak mengerti. Karena Eun-seol manis, jawab Moo-woon sambil tersenyum.
“Sama sekali tidak, karena kau belum melihat warna aslinya. Jangan katakan dia manis, sebaiknya kaubilang aku manis. Itu lebih masuk akal,” sahut Ji-heon.
“Baik. Kau super manis. Haha...” Moo-woon tertawa. Ji-heon menyundul bahu Moo-woon. Moo-woon balas menyundulnya. Ha, keempat orang ini bener-bener deh^^
Eun-seol dan Na-yoon menghampiri mereka. Ji-heon buru-buru mengajak Eun-seol pergi, tapi Na-yoon menahannya. Bagaimana bisa Ji-heon pergi begitu saja setelah kejadian tapi, bukankah seharusnya Ji-heon membelikan baju baru atau mengantarnya pulang.
Ji-heon bilang ia sedang bekerja dan menyuruh Na-yoon pulang dengan Moo-woon. Tapi Na-yoon malah ingin pergi ke kantor bersama, bukankah ia juga akan menjadi bagian dari perusahaan. Seluruh iklan perusahaan akan dikerjakan olehnya.
Siapa bilang, lowongan pekerjaan harus diumumkan oleh perusahaan, ujar Ji-heon. Wew, kok dia mendadak pinter yach...
Na-yoon tak peduli, pada akhirnya pasti dia yang mendapatkan perkerjaan itu. Kemampuannya adalah yang terbaik. Ji-heon menantang untuk melihat hasilnya saat lowongan itu diumumkan. Eun-seol mengangguk setuju dan mengikuti Ji-heon meninggalkan Na-yoon.
“Jika kau terus seperti itu, aku akan jadi gila! Semakin kau bersikap seperti ini, aku akan semakin mengganggumu! Tidak, aku akan mengumumkan langsung di koran kalau kita berdua telah bertunangan dan akan menikah besok. Aku akan melakukannya dan akan jadi gila!” seru Na-yoon.
“Kau bukan akan jadi gila. Kau sekarang sudah gila,” sahut Ji-heon tenang.
“Benarkah? Itu semua karena kau, jadi kembalilah. Agar aku bisa kembali normal,” rengek Na-yoon putus asa. Ji-heon kebingungan.
Moo-woon mengusulkan agar Ji-heon dan Na-yoon berbicara berdua, ia akan meminjam Eun-seol. Untuk apa meminjam dia, dia tidak berguna, kata Ji-heon. Kalau dia tidak berguna untukmu, biarkan aku menggunakannya, sahut Moo-woon.
“Kenapa? Kau tidak bisa tanpa dia?” tantang Moo-woon. Ji-heon tak bisa menjawab.
“Benar, jika direktur kami Cha Ji-heon tidak mempunyai seseorang yang tidak berguna sepertiku ini di sisinya, ia tidak bisa melakukan apapun,”sindir Eun-seol.
Ji-heon menyorongkan Eun-seol pada Moo-woon, ini…mengapa kau tak meminjamnya untuk selamanya. Eun-seol mengajak Moo-woon pergi. Maka merekapun meninggalkan Ji-heon dan Na-yoon. Tapi Ji-heon terus memandangi keduanya.
Moo-woon meminta Eun-seol mengganti es krimnya. Eun-seol dengan senang hati menyetujui. Moo-woon juga bersikap gentleman dengan meminjamkan jasnya untuk menutupi noda di rok Eun-seol.
Ayah Ji-heon menerima laporan dari sekretarisnya mengenai kegiatan Ji-heon di taman hiburan. Ji-heon dan manager periklanan terlihat mengadakan inspeksi bersama. Ayah Ji-heon senang dan meminta sekretaris terus melapor padanya.
“kau bahkan tak mempercayai anakmu sendiri?” terdengar sebuah suara.
“Ibu !” seru ayah Ji-heon.
“Ibumu di sini. Mengapa kau memanggilku?” nenek Ji-heon muncul dari balik pohon.
“Ibu, apa kau seorang ninja? Memakai kacamata hitam dan mengapa kau di balik pohon?”
Nenek Ji-heon menegur ayah Ji-heon yang tak percaya anaknya sendiri. Jika ayahnya saja tak percaya, siapa yang akan percaya? Ayah Ji-heon tersenyum, apa ibu mempercayai anak ibu sendiri. Tentu saja, sahut nenek Ji-heon sambil masuk ke dalam rumah. Percaya kok nguping hehe..ibu dan anak sama aja deeh^^)
Sekretaris melanjutkan laporannya. Manajer periklanan yang baru adalah Seo Na-yoon. Na-yoon? Presdir Cha mengerutkan kening.
Ji-heon menjerit kaget saat masuk kamarnya. Ia minta ayahnya tidak masuk ke kamarnya diam-diam. Apanya yang diam-diam, aku ingin berbicara denganmu, kata Presdir Cha. Ia ingin tahu apakah Ji-heon kembali pada Na-yoon. Ji-heon membantahnya dan meminta ayahnya jangan khawatir.
Presdir Cha khawatir karena ini menyangkut pernikahan Ji-heon. Ji-heon berkata seharian ini ia bekerja sesuai yang diinginkan ayahnya. Jika ayahnya terus mengurusi masalah Na-yoon, ia akan berhenti bekerja.
Kau mengancamkuku? Baru sehari bekerja kau sudah mengancamku? Tanya ayah Ji-heon tak percaya. Benar, sahut Ji-heon. Ia mengambil ancang-ancang siapa tahu ayahnya akan memukulinya lagi. Tapi ayahnya berkata ia tidak akan mengurusi masalah itu lagi dan pergi ke luar.
Sebelum membuka pintu, ayah Ji-heon meninju gambar Eun-seol hingga robek dan terguling. AYAAAHH!!!! Teriak Ji-heon. Ayah Ji-heon cepat-cepat membetulkan gambar itu hehehe^^ Ji-heon lebih parah lagi. Ia pelan-pelan membaringkan papan Eun-seol yang terpenggal sambil menangis, “Apa yang harus kulakukan? AYAAAHHH!!”
Ji-heon mengingat kembali apa yang dilakukannya setelah Eun-seol dan Moo-woon pergi. Ternyata ia tak berbicara dengan Na-yoon, malah memata-matai sekretarisnya dan sepupunya. Na-yoon mengikuti Ji-heon dan bertanya apa Ji-heon menyukai Eun-seol. Apa Ji-heon melihat Eun-seol sebagai wanita? (err...masa sebagai sapi?)
Ji-heon menyingkirkan pikiran itu kuat-kuat dan memukuli papan Eun-seol dengan kesal. Tapi ia cepat-cepat menyadari perbuatannya dan meminta maaf pada “Eun-seol”.
Moo-woon disambut keluhan ibunya saat tiba di rumah. Ibunya sakit perut memikirkan Ji-heon akan menjadi pewaris perusahaan padahal semua orang mengira Moo-woon lah penerus Presdir. Bagaimana jika semua orang tahu Ji-heon akan menjadi pewaris?
Moo-woo berkata biarkan saja semua orang tahu. Ibu Moo-woon protes, tapi ia tersadar. Jika semua orang tahu Ji-heon dijadikan penerus padahal tidak memiliki kemampuan, maka akan menimbulkan keributan.
Ibu Moo-woon menepuk-nepuk bokong Moo-woon, anakku memang jenius. Ia lalu bertanya tentang Na-yoon. Ini kesempatan yang bagus bagi Moo-woon untuk mendekati Na-yoon.
“Semakin aku mendekatinya, ia akan semakin menjauh, Bu,” sahut Moo-woon.
“Kalau begitu kau harus menangkapnya di saat yang tepat. Melihat ekspresimu sepertinya kencanmu berjalan lancar,” kata ibu Moo-woon senang.
Setelah ibunya pergi Moo-woon bertanya-tanya apakah kebersamaannya dengan Eun-seol bisa disebut kencan? Ia tersenyum lebar.
Di taman bermain tadi mereka main bersama. Moo-woon bahkan meminjamkan saputangannya untuk mengelap wajah Eun-seol yang basah terkena air (saat naik Niagara). Eun-seol balas menyuruh Moo-woon mengelap wajahnya.
Eun-seol hendak mengembalikan jas Moo-woon karena kemeja Moo-woon basah hingga menjeplak di dada. Moo-woon melihat Eun-seol terus memandangi dadanya.
“Apa aku membuatmu tak nyaman?” tanyanya.
“Ah, tidak. Kupikir itu benar-benar bagus,” sahut Eun-seol cepat. Upsss.. Moo-woon tertawa geli.
“Maksudku bukan seperti itu. Kalau begitu aku akan terus mengenakan jaketmu,” ujar Eun-seol malu. Ia buru-buru melingkarkan kembai jas Moo-woon ke pinggangnya. Moo-woon membantunya, Eun-seol terkesiap. Apalagi Moo-woon juga dengan lembut membetulkan rambut Eun-seol yang basah.
Malamnya, Eun-seol terus tersenyum mengingat kejadian itu. Ia terus memandangi jas Moo-woon yang sudah tergantung rapi. Myung-ran bertanya apa Eun-seol menyukai pemilik jas itu.
“Lebih dari suka. Tentu saja lebih dari suka.”
“Kalau lebih dari suka, berarti cinta?”
“Direktur Cha Moo-woon itu Moo Neunim (Dewa Moo, gabungan Moo-woon dan dewa). Setingkat dewa.”
Myung-ran tak mengerti.
“Ini seperti kau melihat Won Bin dan Hyun Bin sebagai dewa. Begitulah keberadaannya,” Eun-seol menjelaskan.
Myung-ran mengangguk mengerti. Rasa suka yang dalam namun tak bisa menyentuh dan memiliki. Eun-seol membenarkan. Myung-ran berpendapat mereka tidak bisa dekat dengan orang-orang seperti Moo-woon atau Ji-heon. Semakin dekat akan semakin tertarik. Dan hasilnya pasti buruk. Eun-seol melihat jas Moo-woon dan tersenyum kembali.
Ji-heon berbaring di sebelah gambar Eun-seol. Berbagai pertanyaan terus muncul di benaknya. Apakah ia melihat Eun-seol sebagai wanita? Mungkinkah ia jatuh cinta pada si kepala cepol? Apa ia tak bisa tanpa Eun-seol? Tidak mungkin...tidak mungkin, celoteh Ji-heon. Ia tak bisa tidur semalaman dan berguling-guling hingga beberapa kali jatuh dari kasur.
Keesokan paginya, Eun-seol lagi-lagi kehilangan sebelah sepatunya. Bukan di bar, tapi di bis. Terpaksa ia pergi ke rumah Ji-heon dengan sebelah kakinya mengenakan kantung plastik.
Ia bertemu Presdir Cha di pintu masuk. Eun-seol memberi hormat dan berterima kasih dengan sangat. Presdir Cha bersikap dingin dan berjalan melewati Eun-seol. Tapi tiba-tiba ia berbalik.
“Sekretaris No! Mataku mengawasimu. Kau harus bekerja dengan rajin, mengerti!”
Eun-seol kaget melihat Ji-heon sudah bangun sepagi itu. Tapi ia segera bisa menebak Ji-heon tidak tidur semalaman. Dari mata Ji-heon yang kaya panda hehe^^.
Ji-heon tidak menjawab ketika Eun-seol bertanya alasan Ji-heon tidak bisa tidur. Ia malah menanyakan sepatu Eun-seol. Eun-seol menceritakan sepatunya tertinggal sebelah di bis.
“Yang mengejutkan adalah aku tidak terkejut lagi dengan hal-hal seperti ini. Berdasarkan banyaknya sepatu yang kauhilangkan, kau bisa masuk rekor dunia.”
Eun-seol mengerutu Ji-heon kan belum pernah naik bis.
“Setiap kali kau mengalami hal yang memalukan, aku merasa senang dan hidup. Kecuali aku gila, bagaimana bisa batu itu tertanam di kepalaku? Karena kau abnormal dan tak tahu malu, aku benar-benar berterima kasih,” celoteh Ji-heon.
Eun-seol tak mengerti perkataan Ji-heon (aku juga :p). Ji-heon berkata mereka akan berangkat lebih pagi ke kantor karena moodnya sedang senang. Dia juga menyuruh Eun-seol memilih sepasang sepatu di rak sepatu. Eun-seol melihat jamnya, apanya yang lebih pagi? Eun-seol memilih sepasang sepatu dari lemari.
Presdir Cha meradang saat melihat berita di surat kabar mengenai penunjukan Ji-heon sebagai ahli warisnya.
Ji-heon dan Eun-seol tiba di kantor. Mereka langsung dirubungi wartawan. Eun-seol mencoba menghalangi mereka tapi malah terdorong oleh seorang wartawan.
Ji-heon marah dan meminta wartawan itu meminta maaf pada Eun-seol. Eun-seol minta Ji-heon membiarkan saja tapi Ji-heon bersikeras. Wartawan itu akhirnya meminta maaf. Staf pengaman datang, Ji-heon dan Eun-seol bisa masuk dengan tenang.
Begitu melewati pintu, Ji-heon langsung memeriksa keadaan Eun-seol dengan mengangkat tangan Eun-seol tinggi-tinggi. Saat melihat Eun-seol baik-baik saja, Ji-heon menghentakkan tangan Eun-seol karena malu. Eun-seol menanyakan keadaan Ji-heon. Ji-heon berkata ia baik-baik saja, ia sudah kebal menghadapi hal seperti itu. Kok dia ngga fobia ya sama wartawan yang banyak itu? Apa karena Eun-seol?
Ji-heon berkata Eun-seol pasti takut tapi akan terbiasa nantinya. Ini bukan waktunya mengkhawatirkan aku, sahut Eun-seol. Ji-heon cepat-cepat berkata ia tidak mengkhawatirkan Eun-seol, kepalanya sudah sepenuhnya sadar.
Eun-seol heran melihat tingkah Ji-heon yang aneh tapi ia berterima kasih karena tadi Ji-heon melindunginya.
“Ha! tentu saja.”
“Kau tadi sangat keren.”
“Ha! Ten..” Ji-heon membalikkan badannya. Ia tersenyum melihat senyum Eun-seol. Terpesona lebih tepatnya…
Ji-heon menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya kembali. Ia minta Eun-seol tidak salah paham, ia tidak terpikat. Eun-seol bengong.
Presdir Cha menonton berita mengenai Ji-heon bersama Manager Park. Presdir marah dan meminta semua sambungan telepon dimatikan (untuk menghindari wartawan). Manager Park diam-diam tersenyum.
Sebelumnya, Manager Park bertemu dengan ibu Moo-woon. Ibu Moo-woon menjanjikan masa depan yang bagus bagi Manager Park jika bisa menghasut para pemegang saham untuk memihak Moo-woon. Jadi yang membocorkan berita penunjukkan Ji-heon sebagai ahli waris ke media adalah Manager Park atas permintaan ibu Moo-woon.
Manager Park berkata pada Presdir bahwa para pemegang saham tidak menyangka penunjukkan secepat ini walau sebelumnya mereka sudah bisa menduga. Sekretaris Presdir berusaha memberi isyarat agar Manager Park berhenti bicara. Tapi Manager Park malah mengusulkan Presdir menemui media dan menyangkal berita ini. Sekretaris juga berpendapat sama. Untuk saat ini sebaiknya menolak berita itu (karena tidak baik untuk saham perusahaan).
“Tidak bisa! Pokoknya tidak!” seru Presdir kesal. Ia akan membiarkan saja berita itu.
Para sekretaris lain membicarakan hubungan Eun-seol dan Ji-heon yang tidak biasa. Mereka pikir penunjukkan X-Man sebagai ahli waris akan membuat Eun-seol sedih. Karena hubungan mereka tidak akan mungkin. Eun-seol yang mendengar celoteh mereka langsung menggebrak meja.
Kedua sekretaris itu membela diri, hubungan Eun-seol dan Ji-heon memang berbeda dengan hubungan sekretaris-boss biasa. Eun-seol meminta mereka memperhatikan baik-baik:
!. jangan bicarakan X-Man, jangan bicarakan hal buruk mengenai Ji-heon. Ji-heon juga atasan dari kedua sekretaris itu.
2. Hubungannya dengan Ji-heon tidak seperti yang mereka kira. Sama sekali tidak!
“Aku bahkan tidak melihatnya sebagai pria, omong kosong apa ini? Apa kalian mengerti?” gerutu Eun-seol. Ternyata Ji-heon mendengarkan perkataan Eun-seol.
Dan tersinggung berat. Eun-seol masuk kantor Ji-heon membawakan teh. Melihat mood Ji-heon yang buruk, ia pikir Ji-heon memikirkan pemberitaan buruk di luar sana. Ia mencoba menghiburnya. Tapi Ji-heon sama sekali bukan memikirkan hal itu.
Ia mendekati Eun-seol dan terus berjalan maju hingga Eun-seol terpaksa berjalan mundur. Eun-seol bertanya apa yang sedang Ji-heon lakukan.
“No Eun-seol, nomor KTP-ku dimulai dari angka 1 (menandakan pria, wanita dimulai dengan angka 2). Jadi jika aku bukan pria, maka aku siapa?”
Eun-seol menebak Ji-heon sudah mendengar perkataannya. Salah sendiri Ji-heon menguping.
“Diam, tadi pagi kau bilang aku keren. Kau tidak konsisten.”
Eun-seol menjelaskan, ia hanya merasa Ji-heon keren pada saat itu saja. Ji-heon mendekatkan wajahnya ke wajah Eun-seol. Eun-seol protes.
“Kau tidak melihatku sebagai pria dan aku tidak melihatmu sebagai wanita, jadi apa masalahnya?” goda Ji-heon. Eun-seol memalingkan wajahnya namun Ji-heon terus mengikuti.
Akhirnya Ji-heon malah kena batunya. Ia menatap wajah Eun-seol dan dadanya mulai berdegup kencang. Ia memegangi dadanya, tak menyangka reaksinya akan seperti ini. Keduanya bertatapan, tanpa sadar Ji-heon semakin mendekati Eun-seol.
DOENK!! Eun-seol membenturkan kepalanya ke kepala Ji-heon lalu memiting lengan Ji-heon. Pipi mereka sempat bersentuhan. Keduanya tertegun. Tapi Eun-seol buru-buru mendorong Ji-heon menelungkup di meja sambil terus memiting lengannya. Ia minta Ji-heon tidak bermain-main seperti itu lagi dengannya.
Awalnya Ji-heon mengaduh-aduh kesakitan tapi ia lalu tertawa.
“No Eun-seol, apa kau tadi merasa gugup?”
Eun-seol menyangkalnya tapi Ji-heon tak percaya dan menyuruh Eun-seol mengaku. Eun-seol kesal dan mendorong Ji-heon hingga terjatuh ke lantai. Ia mengancam jika Ji-heon bermain-main seperti ini lagi, ia akan mematahkan semua tulang Ji-heon. Eun-seol keluar meninggalkan Ji-heon yang tersenyum. “Dia jelas-jelas senang,” gumam Ji-heon. Tapi ia lalu sadar, “Apa aku benar-benar sudah gila?” (sigh…memangnya rasa suka pada seseorang itu sebuah kegilaan ya…hmm iya sih, sometimes^^)
Na-yoon sedang minum kopi bersama Moo-woon di halaman kantor. Na-yoon akan segera bekerja di kantor ini dan dengan demikian menjadi keluarga. Na-yoon ingin membicarakan perjodohan mereka.
“Aku menolaknya,” ujar Moo-woon. Na-yoon terkejut. Moo-woon menjelaskan bahwa ia juga tidak ingin sebuah pernikahan tanpa cinta. Mereka akan memberitahu orang tua mereka pelan-pelan.
Na-yoon tampak sedikit tersinggung. “Mengapa kau menolaknya?”
“Bukankah kau tidak menyukai perjodohan itu?” tanya Moo-woon.
“It…itu bukan karena aku tidak menyukainya, tapi…lupakan saja!” sahut Na-yoon kesal.
Moo-woon bertanya apa Na-yoon tidak akan menemui Ji-heon dulu sebelum pulang. Na-yoon khawatir harga dirinya terluka lagi jika menemui Ji-heon. Tepat saat itu Eun-seol keluar sambil mencak-mencak, masih kesal dengan sikap Ji-heon tadi. Ia tidak melihat Na-yoon dan Moo-woon duduk tak jauh dari tempatnya berdiri.
Na-yoon buru-buru menutupi wajahnya dengan cangkir kopi. Sementara Moo-woon senang melihat tingkah Eun-seol. Na-yoon bertanya-tanya apa yang Eun-seol lakukan, ia sengaja memilih tempat ini agar tidak bertemu Eun-seol.
Eun-seol melihat dua kaleng kosong minuman di dekat kakinya. Ia mengambil satu lalu menendangnya jauh-jauh. Moo-woon terkesan dengan tendangan Eun-seol yang keren. Eun-seol mengambil kaleng satu lagi dan menendangnya. Tendangan bagus yang mendarat di….dahi Na-yoon. Poor girl^^
Na-yoon menjerit. Eun-seol buru-buru menghampiri. Ia minta maaf, ia benar-benar tidak sengaja kali ini. Ia bertanya apa Na-yoon baik-baik saja. Dengan wajah memelas Na-yoon memperlihatkan dahinya pada Moo-woon.
“Tidak apa-apa, dahinya tidak terluka,” jawab Moo-woon menenangkan Eun-seol. Na-yoon protes.
“Kali ini benar-benar tidak sengaja, jika aku benar-benar ingin memukulmu, bagaimana bisa tepat mengenai sasaran dalam satu pukulan?” ujar Eun-seol. Merasa tak enak, Eun-seol menawarkan dahinya untuk dipukul Na-yoon. Na-yoon tercengang. Sementara Moo-woon tertawa terbahak-bahak. Bagaimana bisa kau tertawa, tanya Na-yoon tak percaya. Moo-woon tak bisa berhenti tertawa.
Saat malam harinya berbelanja dengan Myung-ran, mood Eun-seol belum membaik. Dengan kesal ia mematahkan timun di supermarket. Sekretaris Kim (sekretaris lama Ji-heon) mendekati mereka dan menyuruh Eun-seol membeli timun itu.
Keduanya saling mengenali. Sekretaris Kim buru-buru memegangi lehernya, dan mengatakan bahwa ia tidak ingat apapun. Ia buru-buru berbalik pergi.
“Tunggu!” seru Eun-seol.
“Aku tidak ingat. Aku tidak ingat apapun!” seru Sekretaris Kim panik.
Eun-seol berkata ia sudah boleh mengingatnya. Status kepala cepolnya sudah diketahui. Sekretaris Kim kaget, sudah diketahui? Eun-seol membenarkan, ia minta maaf atas sikapnya waktu itu.
Eun-seol memberitahu Myung-ran, ia mendapat pekerjaan karena sekretaris Kim keluar. Ia berterima kasih pada Sekretaris Kim. Sekretaris Kim memberi semangat pada Eun-seol, merasa kasihan mengira Eun-seol akan diperlakukan buruk oleh Ji-heon seperti dirinya.
Ji-heon pulang ke rumah mendapati neneknya duduk di kebun, marah dengan anjing. Ia berbisik pada pelayan yang kebetulan lewat, ada apa dengan neneknya. Ternyata karena sepasang sepatu nenek hilang. Ji-heon terkesiap, ia diam-diam masuk ke rumah agar tidak diinterogasi neneknya.
Sementara itu nenek Ji-heon menuduh anjingnya mengambil sepatu itu dan menyuruh anjing itu mengaku di mana ia menyembunyikan sepatunya. Sepatunya tidak bisa digunakan sembarang orang.
Ji-heon berusaha melupakan kejadian di kantor tadi dengan bekerja. Ayahnya yang diam-diam mengintip sangat senang melihat anaknya begitu rajin. Ayah Ji-heon melapor pada nenek. Ia tadinya berpikir Ji-heon orang yang tidak punya pendapat sama sekali tapi ternyata ia melihat Ji-heon bekerja… bekerja!! Nenek mau tak mau tersenyum melihat kegembiraan anaknya.
Presdir Cha langsung mengadakan rapat darurat. Eun-seol bertugas membagikan minuman pada rapat itu. Saat keluar dari ruang rapat, ia bertemu dengan nenek Ji-heon. Ia langsung menyapanya.
Nenek Ji-heon melihat sepatu yang dipakai Eun-seol. Itu adalah sepatunya, tapi ia tidak mengatakan apapun. Eun-seol menanyakan maksud kedatangan nenek. Nenek menjawab ia sedang menjalankan tugas. Nenek, kau keren, puji Eun-seol.
“Omo…tas itu! Apakah tas itu bermerk?” tanya Eun-seol melihat tas nenek yang bagus.
“Ohh…itu…sebenarnya..”
“Palsu ya?” tanya Eun-seol, “Tidak apa-apa, Nek. Aku juga memiliki banyak barang palsu. Nenek, nanti kita bicara lagi ya..”
Nenek hanya mesem-mesem hehe^^
Kedua sekretaris lain melihat perbincangan mereka dari jauh dan merasa iri. No Eun-seol benar-benar hebat, bagaimana bisa ia memanggil “Nenek” pada ibu dari Presdir.
Dalam rapat, semua membicarakan keberatan mereka dengan berita terakhir dan kejadian saat ulang tahun perusahaan. Presdir Cha menghentikan protes mereka. Ia mengerti kekhawatiran mereka tapi ia, Cha Bong-man, selalu melakukan apa yang sudah dikatakannya. Ia sanggup mempertaruhkan jabatannya dan akan membentuk si berandal menjadi pebisnis handal. Jika gagal, ia sendiri yang akan mengusir Ji-heon dari kantor.
Ibu Moo-woon menginterupsi, “Bukankah ada Direktur Cha Moo-woon?” Presdir Cha tanya mengapa ibu Moo-wonn memotong pembicaraannya.
“Karena pidatomu terlalu panjang, Presdir. Direktur Cha Moo-woon mendapat peringkat pertama chaebol generasi kedua tahun kemarin.”
Ia tak mengerti mengapa menunjuk orang yang jelas-jelas tidak berkemampuan dibandingkan dengan orang yang kemampuannya diakui dan dipercaya orang lain. Nenek Ji-heon angkat bicara.
Walau ia tidak ingin ikut campur tapi jika Presdir sudah memutuskan, ia ingin mengikuti keputusan Presdir. 25 tahun yang lalu, ketika ia menunjuk putra keduanya, Cha bong-man, sebagai pewaris perusahaan, seluruh dunia seperti jungkir balik. Saat itu semua membicarakan bagaimana bisa perusahaan diserahkan pada seorang berandalan, juga banyak yang bilang perusahaan akan bangkrut dalam waktu setahun.
Ji-heon tertawa cekikikan mendengar masa lalu ayahnya. Nenek Ji-heon berkata ia juga bertanggung jawab atas kekisruhan saat itu dan sebagai orangtua, ia harus menanggungnya. Tapi, perusahaan menjadi kuat berkat Presdir. Jadi ia minta semua percaya pada Presdir, menunggu dan melihat hasilnya.
“Bagaimana jika gagal? Bagaimana jika ia membawa kerugian pada perusahaan? Saat itu siapa yang bertanggung jawab?” tanya ibu Moo-woon.
“Aku! Aku yang akan bertanggung jawab. Aku akan menggunakan jabatanku sebagai jaminannya,” sahut Presdir. Ji-heon terhenyak. Moo-woon juga.
Ibu Moo-woon membalikkan kata-kata Presdir. Kalau begitu jika proposal taman hiburan tidak disetujui maka Presdir yang akan bertanggung jawab. Presdir tidak bisa mengatakan apa-apa lagi.
Selesai rapat. Ayah Ji-heon menemui ibu Moo-woon. Ia ingin berbicara tapi ibu Moo-woon tidak mau. Ibu Moo-woon melangkah ke dalam lift, ayah Ji-heon mengikuti. Ibu Moo-woon keluar, ayah Ji-heon mengikuti. Ibu Moo-wonn masuk kembali ke dalam lift, untung ayah Ji-heon sempat masuk sebelum pintu menutup.
“Seok-hee, jangan lakukan ini. Aku juga memiliki rencana sendiri. Aku akan memperlakukan Moo-woon dengan baik,” kata ayah Ji-heon.
Ibu Moo-woon tidak percaya. Presdir Cha berkata ia juga memberi bagian yang besar pada kakaknya (ayah Moo-woon) waktu itu. Ia minta ibu Moo-woon jangan serakah. Ia mengakui kemampuan ibu Moo-woon yang telah membangkitkan perusahaan di saat hampir bangkrut tapi ia minta perselisihan ini dihentikan dan hidup damai. Sepertinya ibu Moo-woon tidak sependapat.
Malam itu Presdir Cha dan Ji-heon tidak bisa tidur. Jabatan Presdir dipertaruhkan saat ini. Ji-heon memutuskan untuk menyelamatkan jabatan ayahnya. Ia menghampiri papan Eun-seol dan meminta agar tidak menganggu untuk sementara. “Menghilanglah dari otakku untuk sementara, mengerti?”
Ayah Ji-heon masuk dan mengingatkan Ji-heon untuk berusaha keras agar kemampuannya diakui. Dan berkali-kali ayah Ji-heon mengingatkan Ji-heon bahwa jabatannya sedang dipertaruhkan.
Ji-heon bekerja keras dibantu oleh Eun-seol. Eun-seol memikirkan ide apa yang akan dimasukkan Ji-heon dalam proposalnya. Ia menulis: Kenangan. Ji-heon ingat cerita Eun-seol mengenai ayahnya di taman bermain. Tiba-tiba ia mendapat ide.
Saat ia melihat Eun-seol untuk memberitahu idenya, ternyata Eun-seol sudah tertidur. Ji-heon menyandarkan Eun-seol ke kursi dan tersenyum puas karena sudah menjadi bos yang baik.
Pagi harinya Eun-seol bangun mendapati ia tidur semalaman di kantor Ji-heon sementara Ji-heon tidak tidur. Dengan bangga Ji-heon memperlihatkan proposalnya. Eun-seol berlari mengambil proposal itu dari tangan Ji-heon dan membacanya.
Ia memuji proposal itu isinya bagus. Ji-heon memuji dirinya sendiri, jika ia sudah bertekad melakukan sesuatu maka ia bisa melakukan apapun. Eun-seol tersenyum sambil menggaruk-garuk kepala.
Melihat penampilan Eun-seol yang berantakan Ji-heon mengerutkan kening dan menggerutu, “Kau ini tidak bisa berubah ya.” Lalu ia tersenyum.
Na-yoon menemui Ji-heon untuk menanyakan proposal taman hiburan. Ia terkejut saat tahu Ji-heon telah menyelesaikan proposal itu.
Sementara itu Eun-seol menemui Moo-woon di kantornya untuk mengembalikan jas Moo-woon. Moo-woon tak bisa berhenti tersenyum melihat Eun-seol berceloteh. Akhirnya ia mengajak Eun-seol makan siang. Eun-seol berkata ia harus minta ijin Ji-heon.
Eun-seol menelepon Ji-heon (yang masih bersama Na-yoon). Ji-heon memberi ijin untuk kali ini saja tapi Eun-seol harus segera kembali. Na-yoon menerka Eun-seol yang menelepon. Ji-heon mengajak Na-yoon segera pergi.
“Jika kau berdiri, aku akan menangis dan menunjuk-nunjuk padamu,” ancam Na-yoon.
Ji-heon bengong. Na-yoon mulai menangis.
“Dengarkan aku, Seo Na-yoon,” kata Ji-heon. Na-yoon langsung menyimak.
“Ketika kita pertama kali bertemu setelah kau kembali, aku memang terpengaruh. Saat itu aku juga khawatir. Tapi aku langsung melupakannya.”
Senyum Na-yoon langsung hilang. Ji-heon berkata semua itu hanya sesaat dan ia tidak pernah memikirkan Na-yoon lebih. Sepertinya orang ini (Ji-heon menunjuk dirinya sendiri) melupakan semua tentang Na-yoon. Na-yoon tertegun. Ji-heon langsung meninggalkan Na-yoon.
Ji-heon berjalan sambil berusaha menghindari benturan dan sentuhan orang lain. Tapi ia kaget saat melihat melalui sebuah jendela restoran. Eun-seol dan Moo-woon.
Moo-woon menanyakan proposal Ji-heon. Eun-seol menjawab proposal itu sudah selesai. Sunggguh melegakan, sahut Moo-woon. Ji-heon menelepon Eun-seol dan bertanya dengan siapa Eun-seol makan siang. Berarti Eun-seol cuma minta ijin makan siang di luar kantor, bukan minta ijin makan dengan Moo-woon. Pantes aja Ji-heon mengijinkan hehe^^
“Jangan bilang kau sedang makan dengan rival terbesarku, Cha Moo-woon.”
“Eh…apa ada sesuatu di kantor?” tanya Eun-seol.
“Tidak, aku hanya penasaran kau makan dengan siapa.”
Eun-seol pura-pura sinyal ponselnya jelek dan tidak bisa mendengar suara Ji-heon. Tentu saja Ji-heon melihat tingkah Eun-seol dan kesal sekali. Moo-woon juga tidak tahu Ji-heon ada di luar. Ia tersenyum geli melihat Eun-seol.
Ji-heon menelepon Eun-seol kembali. Kali ini Eun-seol melihat wajah Ji-heon di jendela. Eun-seol terbelalak kaget. Terpaksa ia mengangkat telepon Ji-heon. Ji-heon menyuruh Eun-seol keluar sekarang juga.
Eun-seol kebingungan. Moo-woon meminta telepon Eun-seol. Ia bertanya apa Ji-heon mau ikut makan. Ji-heon membantah. Moo-woon menutup teleponnya. Ji-heon menghambur masuk ke restoran, diikuti Na-yoon yang ternyata mengikuti Ji-heon.
Ji-heon menyuruh Eun-seol keluar bersamanya sekarang juga. Ji-heon menuduh Moo-woon mencari informasi proyeknya melalui Eun-seol. Ia lalu menarik kerah Eun-seol hingga Eun-seol berdiri. Moo-woon berdiri dan menepis tangan Ji-heon. Ia berkata pada Eun-seol bahwa ia akan menraktir lain kali. Dua kali.
Moo-woon lalu berbicara pada Ji-heon. Setiap kali Ji-heon bersikap seperti ini, ia akan menggandakan ajakannya. Jadi ia akan senang jika Ji-heon menginterupsi lain kali. Berarti ia akan menraktir Eun-seol 4 kali. Ji-heon kehabisan kata-kata.
Moo-woon pergi meninggalkan mereka. Ji-heon juga membawa Eun-seol keluar dari restoran (kasiaan ya…kan belum makan >,<). Tersisa Na-yoon yang tak dipedulikan sama sekali.
“Apa aku ini tak terlihat?!” rengeknya.
Na-yoon menangis di kantornya. Ia berhenti menangis saat ibunya masuk. Ibu Na-yoon menerka Na-yoon menangis karena Ji-heon. Ia menasihati Na-yoon agar tidak menaruh semua telur dalam 1 keranjang. Artinya jangan menaruh harapan pada satu orang saja. Ia ingin Na-yoon dekat baik dengan Moo-woon maupun dengan Ji-heon. Mereka akan melihat siapa pemenang dari keduanya.
Na-yoon mengeluh keduanya tidak mempedulikannya. Keduanya hanya memperhatikan satu wanita. Ibu Na-yoon menghela nafas kesal, putri keluarga mana?
Nenek Ji-heon mengecek resume Eun-seol.
Ayah Ji-heon kehilangan selera makan tapi nenek memarahinya. Jika menyisakan makanan maka keberuntungannya akan pergi. Ayah Ji-heon memutuskan ia memerlukan keberuntungan saat ini, jadi ia mulai makan dengan lahap. Bagus, keberuntunganmu baru saja kembali, ujar nenek. (eh berguna ngga ya buat anak yang susah makan?? ^o^)
Ayah Ji-heon memberi semangat pada anaknya. Rapat akan diadakan lusa. Jika Ji-heon mempresentasikannya dengan baik maka semua baik-baik saja.
“Presentasi? Aku bukan hanya harus membuat proposal tapi mempresentasikannya?!”
Ayah Ji-heon berkata itulah yang biasanya dilakukan dalam rapat, mungkin Ji-heon tidak tahu karena tidak pernah mengikuti rapat hingga akhir. Ji-heon melongo. Ayah Ji-heon memberi saran agar Ji-heon mempresentastikan cara untuk meningkatkan pendapatan dan juga rencana jangka panjang akan lebih baik daripada rencana jangka pendek. Setelah ayahnya keluar, Ji-heon masih melongo.
Keesokan harinya, Ji-heon memasuki ruang rapat yang kosong. Ia ingat saat melakukan presentasi. Tatapan-tatapan orang dan reaksi mereka. Meremehkan, menertawakan, kekecewaan ayahnya. Waktu itu Ji-heon berteriak memohon.
“Kumohon,” gumam Ji-heon dengan mata berkaca-kaca. Ia mengetuk meja rapat yang kosong. Ia menyadari, inilah kelemahannya.
Dalam perjalanan pulang, Eun-seol kaget saat Ji-heon berkata tidak mau melakukan presentasi. Kau sudah tahu penyebabnya, ujar Ji-heon lelah. Eun-seol berpikir keras.
Ia menyeret Ji-heon ke kedai makguli (minuman beralkohol hasil fermentasi). Ji-heon tidak mau meminumnya tapi Eun-seol memaksanya. Eun-seol tidak habis pikir mengapa Ji-heon mudah menyerah.
Dulu ia melakukan banyak pekerjaan kecil. Ini pertama kalinya ia mendapat pekerjaan bagus seperti ini. Ia tidak bisa mengerti orang yang mudah menyerah. Setelah semua usaha keras yang mereka lakukan dalam membuat proposal itu.
Ia benar-benar kesal. Eun-seol menggebrak meja dengan tinjunya. Ji-heon meminta Eun-seol berhati-hati dengan tinjunya. Eun-seol berharap bisa menyadarkan Ji-heon, ia gemas ingin mengayunkan tinjunya.
“Aku memberimu ijin. Lakukanlah.” Ji-heon menyodorkan pipinya.
Buk!! Eun-seol beneran meninju Ji-heon. Ia minta Ji-heon melakukan presentasi. Ji-heon jadi ketakutan ditinju Eun-seol lagi. Hehe…kasian, udah takut sama papanya eh sekarang takut sama sekretarisnya^^
Ji-heon mengaku tak bisa berbicara di depan orang banyak. Melihat Eun-seol tak terkejut, Ji-heon menebak Eun-seol sudah tahu. Eun-seol mengangguk.
“Benar-benar No Eun-seol. Kau ini tidak tahu yang seharusnya kau ketahui (perasaan Ji-heon) tapi mengetahui yang seharusnya tidak kau ketahui (fobia Ji-heon),” gerutu Ji-heon. Ia menyadari tidak akan bisa menjadi pewaris. Ia tidak bisa menjadi Presdir.
Eun-seol mengusulkan agar Ji-heon tidak perlu memperlihatkan wajah seperti penyanyi-penyanyi latar. Bagaimana bisa seorang Presdir tidak memperlihatkan wajah, tanya Ji-heon. Eun-seol berjanji akan menemukan cara. Tidak ada, kata Ji-heon. Pasti ada jalan keluarnya, kata Eun-seol. Tidak ada, jawab Ji-heon.
Eun-seol menceritakan seorang presdir yang selama 17 tahun berpikir bahwa dia adalah seorang idiot. Ternyata waktu kecil, gurunya salah menulis IQ-nya 73, padahal seharusnya 173. Ia mengira dirinya seorang idiot ber-IQ 73. Ji-heon menyebut orang itu bodoh, bagaimana bisa tidak mengetahui diri sendiri pintar atau idiot. Eun-seol membenarkan, orang pintar pun begitu. Hanya karena semua orang bilang ia idiot, ia mempercayainya selama bertahun-tahun.
Ji-heon bertanya apa maksud Eun-seol menceritakan hal itu. Apa ia seperti si presdir yang baru menyadari dirinya jenius? Eun-seol menjelaskan, ia ingin Ji-heon menjalani hidup sesuai dengan pandangan Ji-heon sendiri. Sama seperti dirinya yang terus meyakinkan diri sendiri bahwa ia bisa mendapatkan pekerjaan dan melakukan pekerjaan ini, akhirnya ia benar-benar bisa. Ji-heon berkata impian Eun-seol sangat sederhana. “Benar, impian sederhanaku saat ini adalah menyelesaikan proposal pada rapat besok.” Ia berjanji akan mencari cara bagaimanapun juga.
Keduanya minum makguli hingga Ji-heon mabuk. Eun-seol minta diantar ke rumahnya dan duduk di samping Ji-heon. Ji-heon toba-tiba menatap Eun-seol.
“Rasanya seperti jatuh ke dalam,” ujar Ji-heon.
“Apa?” tanya Eun-seol.
“Batu semesta jatuh melesak ke dalam sistem limbik amigdala otakku.” (sistem limbik = sebuah sistem di dalam otak, amigdala = sekumpulan sel di dalam sistem limbik otak yang mempengaruhi reaksi emosi seseorang (seperti rasa takut dan keinginan berhubungan dengan lawan jenis …ehem ehem – sumber: wikipedia)
Eun-seol tak mengerti. Ji-heon menunjuk kepala Eun-seol, sebuah batu melesak ke dalam sistem limbik otak. Eun-seol berkata tinjunya memang seperi batu tapi tidak ada yang bilang otaknya seperti batu. Ji-heon tertawa. Lalu menyandarkan kepalanya di bahu Eun-seol.
Eun-seol mencari apa itu sistem limbik amigdala di internet. Ia menjelaskan pada Myung-ran sepertinya itu berkaitan dengan perasaan dan emosi seseorang. Dan Ji-heon berkata sebuah batu telah masuk ke dalamnya. Eun-seol merasa mengerti maksud Ji-heon tapi ia akan menganggap tidak tahu apa-apa.
Baginya yang terpenting saat ini adalah menjalankan presentasi dengan sukses. “Pasti ada jalan keluarnya.” Ia menepuk kepalanya dengan kesal, “Pasti ada solusinya.”
Keesokan harinya, Ji-heon tidak muncul juga dalam rapat. Padahal semua sudah menunggu. Para peserta rapat mengomel. Terpaksa rapat dimulai tanpa Ji-heon.
Eun-seol keluar dari taksi yang tertahan jalanan macet dan berlari membawa sesuatu. Moo-woon memulai presentasinya. Ia menganggap penting saat ini untuk memperbaiki image perusahaan yang sedang jatuh.
Eun-seol terus berlari. Moo-woon sudah selesai dengan presentasinya. Ibunya bertepuk tangan penuh kemenangan. Sekretaris Jang (sekretaris ayah Ji-heon) mengumumkan presentasi Ji-heon diundur pada rapat berikutnya. Presdir Cha menarik nafas putus asa.
Tiba-tiba pintu ruang rapat terbuka dan Eun-seol berlari ke dalam. Ia membisikkan sesuatu pada Sekretaris Jang, lalu menyalakan laptop. Wajah Ji-heon muncul di layar.
“Maaf, aku terlambat. Kita mulai sekarang?” Ji-heon tersenyum.
Semua terkejut. Moo-woon terlihat kesal. Eun-seol tersenyum senang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar